Kamis, 10 Oktober 2013

DESTINASI PULAU BUNTA - Bagian 1

Pulau Bunta. Sekilas kedengaran asing, karena tidak banyak yang mengetahui pulau tersebut. Hanya segelintir orang, bisa jadi yang hobi memancing atau suka berpetualang yang tahu tentang pulau ini. Pulau Bunta terletak di Peukan Bada, Aceh Besar. Sebuah pulau yang menyimpan berjuta keindahan mulai dari panorama yang indah, terumbu karang yang cantik tak kalah dari sabang, serta pulau ini terkenal karena tak ada tupai sehingga pohon kelapa dapat tumbuh subur, dan uniknya lagi di pulau ini tidak ada nyamuk.
Rasa penasaran yang tinggi mengundang saya untuk mencari akses kesana, dan mencoba menjumpai pak keuchik pulau bunta untuk meminta izin. pak keuchik begitu mendukung serta merekomendasikan kami untuk naik perahu pak Asri, salah seorang penduduk asli pulau bunta yang sering ke Banda Aceh. Akhirnya kami  memutuskan akan berangkat hari sabtu 31’agustus 2013.

***

Pagi ini saya dan 5 orang teman menumpang mobil Pick-up, kami duduk dibelakang dibawah sinar matahari pukul 10 yang tak segan-segan membakar kulit kami. Perkenalkan teman- temanku, Rinal, Ian, Laey, Edy, dan Surgek.  Di tambah empat orang teman Rinal yang naik motor, Ayi, Tm, Amar, dan Abot. Kami menuju daerah Lam Tengoh, disana tempat kami akan berangkat menuju destinasi.
Sebuah perahu hijau milik pak Asri sudah siap di ujung dermaga. tanpa menunggu lama kami langsung mengangkat barang-barang bawaan ke atas perahu sambil bercerita tentang kisah pulau bunta dengan pak Obay. Pak Obay bukan penduduk asli pulau bunta, tapi sudah menetap lama disana, jadi banyak hal yang dia tahu. Setelah semua naik perahu, kami berangkat.
Ini pengalaman pertama saya naik perahu menyusuri perairan antara pulau batee dengan ujung barat pulau sumatera, ujong pancu. kata pak Obay, “Di antara kedua pulau ini lautnya terkenal ganas, karena disini tempat yang mempertemukan samudera hindia dan selat malaka”. Beruntung waktu itu arus tidak terlalu kuat, selat malaka dan samudera hindia sedang “akur”. Tapi demi keselamatan tetap saja kami memakai jaket pelampung.
Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan indah, birunya laut berpadu eksotisnya pulau bunta tampak dari kejauhan seakan memanjakan mata. Kata pak Obay, “pulau ini dinamai bunta karena bentuknya yang seperti punggung unta, memiliki dua bukit yang menjulang diatasnya.”


Setelah satu jam perjalanan kami tiba di pulau bunta. Perahu yang kami tumpangi tidak bisa menepi di dermaga karena dermaganya rusak akibat terjangan gelombang tsunami 2004 silam. Kami terpaksa harus mendarat di air yang hampir sepinggang, barang-barang bawaan kami angkat tinggi agar tak terjamah oleh ombak.


Keindahan bunta langsung menyergap begitu menginjakkan kaki disana. Di tepian pantai dipenuhi batu sungai yang seolah begitu tertata rapi. Di sisi timur tampak hamparan pasir putih kontras di antara warna biru laut dan hijau pegunungan. Di sisi barat tampak pulau kecil berdiri gagah. “jika air surut pulau ini bisa dijangkau dengan berjalan di atas batu, disana juga orang sering memancing” kata pak Obay.
Setelah melihat panorama sekitar yang sempat membuatku berdecak kagum, kami menuju sebuah rumah panggung. Disana kami merasa kelelahan dan duduk beristirahat. Untuk siang ini kami sudah membawa nasi, jadi tidak repot-repot memasak lagi. Kami langsung  menyantap makanan siang dan kemudian menuju ke pantai untuk mendirikan tenda. Jauh-jauh ke bunta tidak seru kalau nginap dirumah, makanya kami mendirikan tenda.
Siang itu di tengah teriknya matahari pukul 2 kami sibuk masing-masing. Ada yang mempersiapkan tempat masak untuk nanti malam, ada yang sibuk mencari kayu bakar, dan saya memilih berenang karena penasaran ingin  mencoba snorkeling. Ternyata benar kata orang terumbu karangnya cantik dan banyak ikan-ikan kecil. Jika tidak percaya, datang dan lihat sendiri kesini. Beruntung sekali Rinal mendapat lobster kecil selagi snorkeling.
Sore hari setelah kami memasak nasi untuk makan malam, kami meninggalkan tenda mengikuti jalan setapak menuju arah barat. Trekking yang menanjak di lereng bukit yang langsung berbatasan dengan jurang langsung ke laut. Melewati semak belukar dan tanah yang licin. Lengah bisa-bisa terpeleset ke jurang. Kami baru sadar ternyata surgek tidak tahu kami pergi melihat sunset, kemudian laey mencoba menghubungi dengan sinyal seadanya. Sinyal disini timbul tenggelam, kadang-kadang saja ada sinyal. Kami tidak mungkin menunggu karena tidak mau melewatkan moment bagus melihat sunset.
Setelah melewati bukit dan menerobos hutan, kami di hibur dengan pemandangan spektakuler. Mercusuar putih menjulang tinggi, di dukung hamparan rerumputan hijau seperti permadani yang dibentang guna menyambut para pengunjung pulau. Di tepian laut terdapat gua kecil yang dihempas gelombang, Jauh di tengah laut terlihat pulau karang. Siluet jingga senja melengkapi keindahan. Kami tak mau kelewatan berfoto bersama lukisan alam yang luar biasa ini.





Matahari sudah tenggelam di gelapnya hari, surgek baru tiba. Sebuh moment bagus yang di lewatkan surgek.  Kemudian kami berjalan kembali di tengah gelapnya hutan ditemani cahaya bintang dengan  penerangan senter seadanya. Sesekali kami dikagetkan bunyi semak belukar yang di terjang babi hutan yang kaget dengan keberadaan kami.
Malam harinya kami memanggang ayam yang sudah kami siapkan, dikombinasikan dengan sambal kecap yang sedikit pedas. Kemudian di akhiri dengan buah timun segar yang diberikan pak Asri sebagai pencuci mulut. Makan malam mewah untuk petualangan yang seru ini.
Selesai makan kami duduk bersama-sama di tepian laut menikmati segelas kopi dan kacang. Langit malam begitu cerah berbintang, ditemani kesunyian dan tanpa ada penerangan lampu sama sekali di pulau ini. Api unggun yang kami buat ikut menghangatkan suasana bercengkrama kami saat itu. Ini moment yang luar biasa bersama teman-teman.

Awan gelap muncul mengusik  indahnya suasana, tiba-tiba petir yang tidak jauh dari kami membuat mata silau. Saking paniknya lagi-lagi Surgek ketiban sial, dia terinjak oleh Edy yang juga sama-sama kabur ke tenda. Karena cuaca yang tidak mendukung kami membereskan barang, tetesan hujan tak mau menunggu dan langsung menyerbu kami. Kami berlarian ke bangunan serbaguna. Disini kami menghabiskan sisa malam dengan angin kencang di luar, satu persatu rasa ngantuk mulai menyapa dan tidur… (bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar