Kamis, 17 April 2014

MAPALA GAGAL

Mapala gagal. Sepintas mendengar namanya kalian akan berfikir bahwa ini adalah komunitas pecinta alam yang gagal. Itu salah, teman. Gagal yang dimaksud disini yaitu singkatan dari jaga-jaga lingkungan. sebuah komunitas pecinta alam yang serius menjaga, tidak seperti mereka yang hanya mengaku pecinta alam tapi masih saja membuang sampah sembarangan.
Komunitas ini berdiri tepat tanggal 28 April 2013 atas dasar keinginan untuk mengeksplor tempat baru yang masih belum terlalu ramai dijamah kaki manusia. Sama layaknya para pecinta alam lainnya, kami berprinsip tidak meninggalkan apapun selain jejak dan tidak mengambil apapun selain foto.
Berbicara tentang keanggotaan, sejujurnya anggota kami tidak terlalu ramai. Hanya 9 orang dan itupun tidak lengkap disetiap destinasi. wajar saja, setiap orang punya kesibukan masing-masing. Tapi dengan anggota yang tidak terlalu ramai ini, petualangan kami semakin terasa lebih akrab.



**tulisan singkat ini saya buat dalam rangka menjelang 1 tahun berjalan mapala gagal, disela kesibukan masing-masing semoga kita tetap kompak dan masih mau meluangkan waktu buat bersantai menikmati keindahan alam. Salam lestari

Sabtu, 16 November 2013

Keindahan yang jarang disapa, Pantai Lhok Ketapang

         Weekend tentunya merupakan hari yang dinanti oleh banyak orang karena bisa bermalas-malasan dirumah setelah letih dengan rutinitas kerja sepekan lalu. Lain halnya dengan yang mempunyai hobi berpetualang. Tentunya di hari jumat pertanyaan ; “Kemana tujuan weekend yang seru kali ini?” telah mengusik benak mereka.
Masih banyak sekali tempat-tempat yang menyajikan keindahan alam disekeliling kita yang belum banyak disapa pengunjung. Tempat-tempat seperti ini asik dikunjungi ketika weekend, Lhok Ketapang misalnya. Tempat yang dapat ditempuh dengan 3 jam perjalanan dari Ujong Pancu, Aceh Besar ini menyajikan keindahan pantai pasir putih dengan biru laut yang kontras, tampak dari kejauhan pulau bunta yang menambah keindahan yang memanjakan mata.
            ***
            Cerita ini bermula ketika sabtu pagi menjelang siang yang mulai sedikit terik, Dodi, Ian dan Rinal menjemputku. Kami mengendarai motor dibawah sinar matahari yang tidak segan-segan membakar kulit kami. Kami menuju Ujong Pancu, disana dua orang temanku telah menunggu.
“Kemana aja lama kali baru sampai jam segini” kata Asra.
“Itulah, luamayan lama kami tunggu disini”. Sambung Laey dengan akrabnya.
Laey ini teman asra yang juga ikut petualangan, orangnya asik dan cepat berbaur.
            “biasa, janji orang Aceh” jawab Rinal.
Segera kami menitip motor di salah satu rumah warga, dan mulai berdoa untuk memulai perjalanan kami.
Destinasi kali ini kami mengandalkan Rinal, karena diantara kami cuma Rinal yang pernah kesana. Parahnya Rinal mulai sedikit lupa.
Kami terus mengikuti jalan setapak menerobos hutan yang masih begitu hijau dan segar, trek dakian yang begitu terjal ditambah bawaan perlengkapan camping membuat tenagaku begitu terkuras. Baju sudah bermandikan keringat.
            “istirahat dulu ya”, pinta ku.
            “iya, aku juga capek nih, sahut Dodi dengan cepat



Trek menuju Destinasi Pantai Lhok Ketapang

Break
Setelah berhenti sejenak melepas lelah, kami melanjutkan perjalanan. Dalam  perjalanan kami sempat bertemu dengan beberapa orang yang sedang berburu rusa.
Dua setengah jam berlalu, dengan rute jalan yang sedikit samar karena jarang dilalui akhirnya kami menjumpai sumber air, kami mengisi botol minum hingga penuh untuk persediaan memasak dan minum. Kami beristirahat sedikit lama, bersantai dengan suasana hutan yang alami.


Rinal mengisi persediaan air
“yok lanjut perjalanan” kata Rinal
“masih jauh, nal? Tanya Ian
            “udah hampir sampai, dikit lagi. Jawab Rinal
Jawaban palsu Rinal, berhasil meyakinkan kami. Di tambah suara deburan ombak dari kejauhan membuat kami percaya pantai Lhok Ketapang sudah dekat. Padahal dari sumber air hinnga tempat destinasi itu sekitar setengah jam perjalanan lagi.
Keletihan perjalanan terbayar tuntas ketika kami tiba di padang ilalang yang begitu hijau. Tampak dari kejauhan pesona pantai biru kontras dengan pasir putihnya. Dibelakang kami tampak gunung yang menjulang tinggi, yang berhasil kami lalui.


Padang Ilalang
Pantai Lhok Ketapang

Pohon di tepi pantai
Siang ini kami malas memasak, kami hanya mengganjal perut dengan roti. Bersantai dibawah pohon yang cukup rindang yang tumbuh tidak jauh dari bibir pantai.
“kita pasang tenda dulu yok, ntar baru lanjut santai lagi” ajak Rinal dengan santai.
“yok..yok” sahut kami berlanjut.
Kami mulai mencari lokasi yang bagus untuk mendirikan tenda. Dengan kesadaran masing-masing kami mengambil andil bagian. Ada yang memasang tenda, ada yang mencari kayu bakar, ada yang mengumpulkan makanan yang kami bawa. Semuanya bekerja.


Persediaan makan dan minum seadanya
Menjelang sore kami bermain di tepian pantai, ditemani umang-umang yang lalu lalang disekeliling kami. Asra mencoba keberuntungan nya memancing ikan dengan caranya sendiri.
“yub.. yub.. kaki ku berdarah nih kena karang, ada bawa betadine?”, teriak Asra dari kejauhan
“ada, ambil aja dalam carrier sana” jawabku
            berlatar belakang sebagai perawat, aku selalu membawa perlengkapan P3K jika kemping.
Puas bermain di hantaman ombak kami kembali ke tenda, melihat Asra yang sedang sibuk memerban kakinya yang luka.
“jalan kearah sana yok” ajak Laey sambil menunjuk batu- batu besar di tepian pantai.
“iya tunggu siap aku plaster luka dulu” sahut Asra
“yok. waktu aku dulu kesini, kami dapat lobster disana” tambah Rinal
Sore hari itu kami menyusuri pantai berharap beruntung dapat lobster, sayangnya keberuntungan tidak berpihak. Tidak satupun kami temukan. Akhirnya kami hanya berfoto dengan keindahan alam sebagai background fotonya. Sepertinya itu cukup.


Diatas Batu
Senja menyapa, kami menikmati keindahan nya ditemani segelas kopi. Cerita demi cerita mengisi kebersamaan hingga gelap mulai hadir. Kami mulai kembali ke tenda dan membakar kayu bakar untuk penerangan.


Segelas kopi dan Senja

Senja
Masak memasak dimulai. Menu malam ini nasi dan indomie seafood. Kami sebut indomie seafood karena indomie yang kami masak ditambah cumi-cumi umpan pancing Asra yang gagal memancing karena kakinya luka. Menu yang cukup enak. karena beneran enak atau karena suasana yang membuat makanan menjadi enak. Ah entah lah!


Suasana Makan Malam
Malam hari kami lewati dengan tidur di pecahan karang yang bertumpuk tinggi dihempas ombak pasang. Menikmati gemintang sambil berbagi pengalaman. Seakan masalah terlupa sejenak ketika menikmati suasana indah begini.
“Tadi aku ada bawa ubi sama jagung, hampir aja lupa, kita panggang-panggang yok!!.” kata Rinal
“Pas kali, aku pun mulai lapar”. Sahut Dodi sambil mengelus perut
Kami mulai memanggang ubi dan jagung di api unggun yang kami buat untuk penerangan. Sesekali umang-umang berkumpul mendekat mengusik, keisengan Laey timbul dengan memanggang umang-umang yang mengganggu.
Malam semakin larut, setelah ubi dan jagung sampai di perut kami. Rasa kantuk seakan tidak menghampiri jika sudah berkumpul bersama seperti ini. mengingat rute pulang yang melelahkan, kami mencoba menjaga stamina. Dan memaksa mata agar segera terlelap.
            ***
            Suara berisik di laur tenda terdengar membangunkanku. Aku bisa menebak, itu pasti Rinal yang sedang memasak air. Ketika aku keluar dari tenda ternyata benar. Rinal lah anak muda yang rajin bangun pagi memasak air buat kopi.
            “Ada masak lebih buat aku, nal?” Tanyaku
            “Ada, banyak itu ku masak. Cukuplah untuk kalian buat kopi” jawab Rinal
            Satu persatu semua bangun, ikut membuat kopi dan menikmatinya di tepi pantai dengan hangatnya cahaya mentari.
            “Masak terus yok, aku mulai lapar” ajak Asra dengan wajah laparnya
            “Yok.. aku pun mulai lapar” jawabku
            Ternyata persedian air kami hanya tinggal sedikit, kami simpan untuk persediaan jalan pulang. Pagi itu kami terpaksa memasak nasi dengan campuran air laut. Masih menu yang sama, kami juga memasak indomie. Enak gak enak, anggap saja enak jika dalam kondisi begini.
            Menjelang siang kami membongkar tenda. Sebelum pulang kami mengutip sampah yang berserakan disekitar dan membakarnya. Sebagai manusia yang cinta dengan alam, kami menjaga kebersihan. Tempat yang indah seperti ini akan kotor jika tidak kita jaga. [Tamat]

Lhok Ketapang, 28 April 2013


Mapala Gagal

Minggu, 20 Oktober 2013

Pantai Lange dan Temuan Dodi

Matahari siang ini sedikit bersahabat, sinarnya tidak secerah semangat kami menuju destinasi. Jam tanganku menunjukkan tepat pukul 13.00wib, semua teman-teman baru lengkap berkumpul. Petualangan kami kali ini beranggota 7 orang, perkenalkan temanku Ian, Dodi, Rinal, Jawir, Surgek, dan Asra atau akrab disapa Ass.
         Tidak ingin berlama-lama kami langsung menuju destinasi pantai Lange. Sebuah pantai indah yang terletak di kemukiman lampuuk ini masih jarang dikunjungi karena tidak ada akses jalan menuju kesana. Destinasi kali ini kami tempuh dengan modal nekat dengan bantuan sedikit info yang kami dapat dari warga.
Kami mengendarai motor menyusuri jalan setapak bebatuan. Tidak jauh berjalan kami sudah dibuat ragu oleh pertigaan jalan  yang membuat kami terpaksa harus memilih. Tentu saja akan dilema dihadapkan pada dua jalan yang tidak pasti. Ketika itu kami memutuskan untuk memilih suara terbanyak, 6 suara memilih menuju kanan, dan hanya Surgek yang memilih kiri. Kami semua menuju arah kanan dan meneruskan perjalanan.
         Semakin jauh kami menerobos mulai timbul keraguan, karena jalan yang kami tempuh semakin ekstreme dan pondok yang kami tuju untuk memarkir motor tidak kunjung ditemukan. Kemudian kami memutuskan untuk kembali dan mengambil jalan pilihan surgek.
Tidak jauh dari jalan pilihan Surgek kami menemukan pondok kecil yang kami tuju. Segera kami memarkir motor di samping pohon dekat pondok tersebut. Dari informasi yang kami dapat, cuma sampai disini kita bisa mengendarai motor. Sisa perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki mengikuti jalan setapak menerobos hutan.
         Suasana alam yang segar dengan pemandangan kiri dan kanan ditumbuhi pepohonan besar terus menemani perjalanan. Trek yang kami lalui terus menanjak membuat kami kelelahan dan keringat membasahi baju kami. Sesekali terdengar suara jeritan mesin senso dan tumbangan pohon mengisi kekosongan pembicaraan.
Setengah jam berlalu kami tempuh dengan berjalan kaki, kemudian kami dihadapkan dengan pemandangan sisa tebangan pohon. Ada rumah kecil yang disampingnya tersusun banyak papan. tidak jauh dari situ ada sumber air. Kami mulai mengisi botol minuman kami yang sudah kosong sambil beristirahat sejenak melepas lelah. Melihat pemandangan sekitar itu timbul pertanyaan dipikiranku, penebangan legal atau illegalkah? Aku hanya bisa memaki dalam hati terhadap kerusakan itu.


Tak ingn terlalu lama beristirahat kami mulai melanjutkan perjalanan. Kami tidak tahu sudah sedalam apa kami memasuki hutan ini, begitu banyak persimpangan yang terlihat sama. Kami mengandalkan tanda tanda di pepohonan yang dibuat orang yang sebelumnya pernah kesana. kami mencoba secepat mungkin tiba di destinasi karena hari mulai menjelang sore.
Tiba di pantai lange kami terhibur dengan hamparan bukit rerumputan hijau. Kemudian saya berlari menaiki bukit, pemandangan dari atas bukit membuat saya terkesima melihat keindahan pasir putih kekuningan dengan ombak laut yang ganas. Sebelah utara tampak tebing yang seolah terpahat rapi yang dihantam ombak. Tidak jauh dari situ ada gua kecil. Sebelah selatan tampak hijaunya bukit kontras dengan hijaunya pepohonan yang menyegarkan mata.





Matahari semakin condong ke barat, awan gelap mulai mengusik keindahan. Kami menuju pondok shelter kecil yang bisa meneduhkan jika hujan tiba. Sayangnya disana telah ada anak mapala unsyiah yang sudah camping sejak kemarin. Kami hanya menyapa dan kemudian bergegas mencari tempat lain untuk mendirikan tenda sebelum hujan menyerbu.
Sore hari waktu kami habiskan dengan bercanda di depan tenda. Ada sedikit harapan semoga awan gelap segera hilang dan sunset menyapa kami. Sayangnya awan gelap tetap setia menyelimuti senja. sisa harapan kami berubah, semoga saja tidak turun hujan. 
Malam hari kami mempersiapkan makan malam bersama. Rinal yang jagonya masak bersama Jawir mulai memasak nasi dan indomie. Ikan yang telah kami persiapkan kami panggang sebagian, dan sebagian lagi kami sisakan buat makan-makan tengah malam.  Aku dan dodi dengan gaya koki amatir memanggang ikan ala iklan rokok dunhil. Sementara Ian dan Ass mempersiapkan sambal kecap pedas buat colekan ikan. Ketika itu Surgek hanya sibuk dengan membakar kayu membuat api unggun untuk penerangan, dan ketika itu saya mulai heran melihat anak satu ini melayukan daun diperapian.
Setelah semua selesai dimasak, barulah saya menyadari  ternyata Surgek lupa membawa piring. Daun yang telah dilayukan rencana akan dijadikan piring. Konyol sekali bukan? padahal ada panci tempat memasak indomie yang bisa digunakan untuk makan dalam keadaan seperti ini. Gelak tawa muncul karena melihat kekonyolan ini. Kemudian kami makan bersama dibawah gelapnya langit tanpa gemintang.
Malam hari kami habiskan dengan duduk di tepi pantai. Entah dari mana awalnya pembicaraan tiba-tiba muncul pertanyaan dari Ass ; apa yang bakal dilakukan kalau menemukan mayat terdampar di tepian pantai ini?. pertanyaan yang sedikit aneh ini memberikan beragam jawaban dari masing-masing kami, dan komentar yang lucu-lucu hinnga timbul candaan yang menghangatkan suasana ditengah dinginnya malam.
Malam semakin larut, kami kembali ke tenda memanaskan air untuk membuat kopi. Dodi yang mulai lapar mencari-cari ikan yang digantungnya dicabang pohon tadi. Ikan kami hilang dan tidak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa ikannya dimakan binatang liar. memang sedikit aneh kalau dipahami logika. Siapa yang mengambilnya? Kami hanya mengikhlaskan ikan itu dan melanjutkan membuat kopi sambil bercanda melupakan masalah ikan.
Angin kencang mulai membuat kami tidak nyaman duduk diluar, kami masuk kedalam tenda dan menghabiskan sisa malam dengan suara gemuruh angin. Beruntung hujan tidak turun membasahi.

***
Pagi menyapa. Matahari masih enggan menampakkan diri bersembunyi dibalik bukit. Seperti biasanya Rinal bangun lebih awal kemudian memasak air untuk membuat kopi. Kami mulai terjaga satu persatu langsung membuat kopi dan menikmatinya di atas bukit rerumputan. Dihibur pemandangan laut dengan ombak ganas membuat kami lupa akan rasa lapar.
Pagi itu saya menikmati suasana berjalan di tepian laut sambil melihat banyaknya sampah botol minuman yang terdampar disini, disusul teman-teman yang lain kami bersama menuju arah tebing. Disana kami mencoba melewati tebing yang licin yang diterjang ombak lepas samudera hindia. Kami mencoba mencapai pantai Ie Rah yang terletak dibalik tebing tersebut. Sebuah pantai yang menyajikan pemandangan hempasan ombak yang membentu seolah air mancur.




Satu per satu tebing terlewati hingga kami mentok di tebing terakhir. Kondisi air yang pasang memaksa harus berbasah-basahan. Karena tanpa sengaja kami membawa hp dikantong terpaksa kami berhenti sampai disitu. Ass dan dodi bersikeras ingin melihat keindahan pantai ie rah dan menerobos terjangn ombak pasang. Sementara kami hanya menunggu mereka di atas tebing sambil melihat pemandangan ombak samudera hindia yang menghempas tebing tempat kami berpijak.
Tidak lama waktu berlalu kami tiba-tiba dikejutkan oleh kepanikan Dodi yang kembali dengan wajah pucat pasi. Gerakan mulutnya tak lagi jelas seolah ingin mengatakan sesuatu. Kami heran sekaligus penasran, apa yang akan disampaikan Dodi. Setelah kami bisa menenagkan Dodi baru lah dia menjelaskan ternyata dia melihat mayat. Kami bergegas menuju pondok yang disinggahi anak mapala dan segera memberitahu bahwa teman kami menemukan mayat agar mereka dapat menghubungi tim SAR (Search And Rescue).
         Setelah itu kami kembali ke tenda dan memasak makanan buat sarapan pagi yang sudah telat dan hampir menjelang siang. Sambil memasak kami bercerita menertawakan kepanikan Dodi dan tanpa sengaja kembali teringat pembicaraan kami semalam tentang menemukan mayat. Pembicaraan semakin panjang mengisi waktu hingga kami selesai makan. Tiba-tiba kami dihampiri anak mapala, mereka berpamitan akan pulang lebih awal. Kami juga berencana akan pulang siang ini, hanya saja kami menunggu datangnya tim SAR untuk menginformasikan dimana mayat yang ditemukan Dodi.
Tiga jam berlalu, tim SAR baru tiba. Dodi dengan kepanikannya menginformasikan kepada tim SAR. Kemudian kami membongkar tenda, membersihkan sampah sekitar tenda dan membakarnya. Setelah beres kami mulai perjalanan  pulang  dengan sesekali dihampiri wartawan yang ingin mengetahui info tentang temuan Dodi. [tamat]

langee, 18/5/2013
Mapala Gagal

Kamis, 10 Oktober 2013

DESTINASI PULAU BUNTA - Bagian 2

...Sambungan

            Selamat pagi. Sapaan kicau burung terdengar menghibur. Kami bangun dengan badan segar, tanpa usikan nyamuk sedikitpun. Sayangnya pagi  ini kami tidak beruntung, sunrise tidak menampakkan diri karena cuaca sedikit mendung dan gerimis. Saya berjalan menuju tenda, melihat sisa badai semalam yang menghancurkan tenda kami. Didekat tenda sudah ada rinal yang memasak air untuk membuat kopi dan memasak mie instan untuk sarapan. Layaknya seorang ibu memasakkan sarapan untuk anaknya-anaknya, begitulah Rinal.
Setelah gerimis mereda pak Obay datang mengajak berkeliling pulau. Sangat disayangkan jika jauh-jauh kesini kami hanya menghabiskan waktu bermalas-malasan. Karena itu  Saya, Ian, Edy, Laey, dan Surgek menerima ajakan. Sedangkan rinal dan teman-teman lain lebih memilih snorkling di pantai karena kemarin mereka belum puas snorkling.
            Kami memulai perjalanan melalui arah timur, dengan perbekalan air yang Cuma setengah botol aqua besar dan kwaci yang dibawa Ian. Ditambah pisau yang mungkin diperlukan untuk menjaga diri jika ada binatang liar. Kami melewati jalan setapak, dibawah pepohonan kelapa. Saya melihat banyak kelapa yang berserakan, Pak obay menandai kelapa itu, dan meletakkannya lagi di tempat semula. Kebiasaan orang disini, jika kelapa sudah ditandai orang tidak boleh mengambil.
            Kemudian kami menyusuri tepian pantai, sepanjang perjalanan kami disajikan pemandangan gunung goh leumo yang berselimut awan di sebelah timur. di tepian sisa air pasang terlihat banyak batang kayu yang terhanyut ombak, banyak sandal sebelah-sebelah, juga banyak botol minuman segala merk yang masih bersegel. Tidak hanya sampah, kami juga menemukan karang merah. kata pak Obay “karang jenis ini sudah langka di Indonesia”. Entahlah, jika memang sudah langka seharusnya pemerintah lebih peduli akan hal ini.




Berjalan menikmati suasana sambil ditemani kwaci membuat kami Tak sadar 2 jam lebih perjalanan sudah kami tempuh, minuman sudah habis. Karena banyaknya buah kelapa yang berserakan Pak obay mengakali dengan mengambil air kelapa untuk menghilangkan dahaga.
tibalah saat yang sedikit ekstreme, melewati bebatuan yang dihempas ombak. Ditambah licinnya batu membuat kami begitu berhati-hati agar tidak terpeleset. Hanya ada dua pilihan ketika itu, lanjutkan dengan memanjat tebing agar sampai di mercusuar atau kembali melewati pesisir pantai. Mengingat perjalanan yang cukup jauh jika kembali, saya memilih mengambil resiko memanjat tebing.






Tak terbayang, serusak apa tubuh ini jika tidak hati-hati dalam memanjat dan tergelincir jatuh kebawah tebing, kearah batu-batu karang runcing dan ombak ganas samudera hindia. Resiko yang cukup besar memang mendaki tebing yang curam tanpa pengaman. Syukurlah kami semua selamat tiba di mercusuar tempat kemarin sore kami mengabadikan lukisan sunset alam.
Beristiraahat sejenak di mercusuar, sambil bercerita tentang “mon na laba” yaitu sumber air pertama di pulau ini. Rencananya ingin kesitu melihat sumber air tersebut, melihat badan yang sudah begitu letih kami membatalkan niat dan kembali ke tenda.
Selama tiga setengah jam berkeliling pulau saya melihat tidak banyak rumah di pulau ini, mungkin banyak rumah yang telah hancur akibat bencana tsunami silam. di mercusuar ada beberapa rumah permanen yang dihuni beberapa orang yang menjaga mercusuar. Tidak banyak penduduk yang mendiami pulau ini. Mereka hanya melepas hewan ternak sapi disini, sehingga beberap tempat berserakan kotoran sapi.
tiba di tenda rinal dan teman-temannya sedang asik dengan hasil kerang yang mereka dapat. rasa letih membuat kami malas memasak utuk makan siang, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore akhirnya kami memutuskan untuk membongkar tenda dan berkemas-kemas pulang.
Sepanjang perjalanan pulang Samudera Hindia dan Selat malaka  sepertinya sedang tidak  “akur”,  perahu yang kami tumpangi sedikit tidak stabil terhempas gelombang. Karena letih saya memilih untuk memejamkan mata dan mencoba tidur di ayunan gelombang, tetapi percikan ombak yang diterjang laju perahu lagi- lagi mengenai muka saya dan membuat saya gagal tertidur. keletihan mata saya saat itu sedikit terhibur dengan pemandangan kota Banda Aceh dari tengah laut. Tak terasa sejam berlalu kemudian perahu berhasil bertambat di dermaga lamtengoh. [tamat]




**Datang dan buktikan sendiri keindahannya. buat petualanganmu sendiri!!

DESTINASI PULAU BUNTA - Bagian 1

Pulau Bunta. Sekilas kedengaran asing, karena tidak banyak yang mengetahui pulau tersebut. Hanya segelintir orang, bisa jadi yang hobi memancing atau suka berpetualang yang tahu tentang pulau ini. Pulau Bunta terletak di Peukan Bada, Aceh Besar. Sebuah pulau yang menyimpan berjuta keindahan mulai dari panorama yang indah, terumbu karang yang cantik tak kalah dari sabang, serta pulau ini terkenal karena tak ada tupai sehingga pohon kelapa dapat tumbuh subur, dan uniknya lagi di pulau ini tidak ada nyamuk.
Rasa penasaran yang tinggi mengundang saya untuk mencari akses kesana, dan mencoba menjumpai pak keuchik pulau bunta untuk meminta izin. pak keuchik begitu mendukung serta merekomendasikan kami untuk naik perahu pak Asri, salah seorang penduduk asli pulau bunta yang sering ke Banda Aceh. Akhirnya kami  memutuskan akan berangkat hari sabtu 31’agustus 2013.

***

Pagi ini saya dan 5 orang teman menumpang mobil Pick-up, kami duduk dibelakang dibawah sinar matahari pukul 10 yang tak segan-segan membakar kulit kami. Perkenalkan teman- temanku, Rinal, Ian, Laey, Edy, dan Surgek.  Di tambah empat orang teman Rinal yang naik motor, Ayi, Tm, Amar, dan Abot. Kami menuju daerah Lam Tengoh, disana tempat kami akan berangkat menuju destinasi.
Sebuah perahu hijau milik pak Asri sudah siap di ujung dermaga. tanpa menunggu lama kami langsung mengangkat barang-barang bawaan ke atas perahu sambil bercerita tentang kisah pulau bunta dengan pak Obay. Pak Obay bukan penduduk asli pulau bunta, tapi sudah menetap lama disana, jadi banyak hal yang dia tahu. Setelah semua naik perahu, kami berangkat.
Ini pengalaman pertama saya naik perahu menyusuri perairan antara pulau batee dengan ujung barat pulau sumatera, ujong pancu. kata pak Obay, “Di antara kedua pulau ini lautnya terkenal ganas, karena disini tempat yang mempertemukan samudera hindia dan selat malaka”. Beruntung waktu itu arus tidak terlalu kuat, selat malaka dan samudera hindia sedang “akur”. Tapi demi keselamatan tetap saja kami memakai jaket pelampung.
Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan indah, birunya laut berpadu eksotisnya pulau bunta tampak dari kejauhan seakan memanjakan mata. Kata pak Obay, “pulau ini dinamai bunta karena bentuknya yang seperti punggung unta, memiliki dua bukit yang menjulang diatasnya.”


Setelah satu jam perjalanan kami tiba di pulau bunta. Perahu yang kami tumpangi tidak bisa menepi di dermaga karena dermaganya rusak akibat terjangan gelombang tsunami 2004 silam. Kami terpaksa harus mendarat di air yang hampir sepinggang, barang-barang bawaan kami angkat tinggi agar tak terjamah oleh ombak.


Keindahan bunta langsung menyergap begitu menginjakkan kaki disana. Di tepian pantai dipenuhi batu sungai yang seolah begitu tertata rapi. Di sisi timur tampak hamparan pasir putih kontras di antara warna biru laut dan hijau pegunungan. Di sisi barat tampak pulau kecil berdiri gagah. “jika air surut pulau ini bisa dijangkau dengan berjalan di atas batu, disana juga orang sering memancing” kata pak Obay.
Setelah melihat panorama sekitar yang sempat membuatku berdecak kagum, kami menuju sebuah rumah panggung. Disana kami merasa kelelahan dan duduk beristirahat. Untuk siang ini kami sudah membawa nasi, jadi tidak repot-repot memasak lagi. Kami langsung  menyantap makanan siang dan kemudian menuju ke pantai untuk mendirikan tenda. Jauh-jauh ke bunta tidak seru kalau nginap dirumah, makanya kami mendirikan tenda.
Siang itu di tengah teriknya matahari pukul 2 kami sibuk masing-masing. Ada yang mempersiapkan tempat masak untuk nanti malam, ada yang sibuk mencari kayu bakar, dan saya memilih berenang karena penasaran ingin  mencoba snorkeling. Ternyata benar kata orang terumbu karangnya cantik dan banyak ikan-ikan kecil. Jika tidak percaya, datang dan lihat sendiri kesini. Beruntung sekali Rinal mendapat lobster kecil selagi snorkeling.
Sore hari setelah kami memasak nasi untuk makan malam, kami meninggalkan tenda mengikuti jalan setapak menuju arah barat. Trekking yang menanjak di lereng bukit yang langsung berbatasan dengan jurang langsung ke laut. Melewati semak belukar dan tanah yang licin. Lengah bisa-bisa terpeleset ke jurang. Kami baru sadar ternyata surgek tidak tahu kami pergi melihat sunset, kemudian laey mencoba menghubungi dengan sinyal seadanya. Sinyal disini timbul tenggelam, kadang-kadang saja ada sinyal. Kami tidak mungkin menunggu karena tidak mau melewatkan moment bagus melihat sunset.
Setelah melewati bukit dan menerobos hutan, kami di hibur dengan pemandangan spektakuler. Mercusuar putih menjulang tinggi, di dukung hamparan rerumputan hijau seperti permadani yang dibentang guna menyambut para pengunjung pulau. Di tepian laut terdapat gua kecil yang dihempas gelombang, Jauh di tengah laut terlihat pulau karang. Siluet jingga senja melengkapi keindahan. Kami tak mau kelewatan berfoto bersama lukisan alam yang luar biasa ini.





Matahari sudah tenggelam di gelapnya hari, surgek baru tiba. Sebuh moment bagus yang di lewatkan surgek.  Kemudian kami berjalan kembali di tengah gelapnya hutan ditemani cahaya bintang dengan  penerangan senter seadanya. Sesekali kami dikagetkan bunyi semak belukar yang di terjang babi hutan yang kaget dengan keberadaan kami.
Malam harinya kami memanggang ayam yang sudah kami siapkan, dikombinasikan dengan sambal kecap yang sedikit pedas. Kemudian di akhiri dengan buah timun segar yang diberikan pak Asri sebagai pencuci mulut. Makan malam mewah untuk petualangan yang seru ini.
Selesai makan kami duduk bersama-sama di tepian laut menikmati segelas kopi dan kacang. Langit malam begitu cerah berbintang, ditemani kesunyian dan tanpa ada penerangan lampu sama sekali di pulau ini. Api unggun yang kami buat ikut menghangatkan suasana bercengkrama kami saat itu. Ini moment yang luar biasa bersama teman-teman.

Awan gelap muncul mengusik  indahnya suasana, tiba-tiba petir yang tidak jauh dari kami membuat mata silau. Saking paniknya lagi-lagi Surgek ketiban sial, dia terinjak oleh Edy yang juga sama-sama kabur ke tenda. Karena cuaca yang tidak mendukung kami membereskan barang, tetesan hujan tak mau menunggu dan langsung menyerbu kami. Kami berlarian ke bangunan serbaguna. Disini kami menghabiskan sisa malam dengan angin kencang di luar, satu persatu rasa ngantuk mulai menyapa dan tidur… (bersambung)

TABIK

Selamat Datang. Ketika teman-teman membuka blog ini mungkin saya sedang melompat –lompat sambil  menari kegirangan karena blog saya sudah dihampiri pengunjung. Sebuah blog baru yang saya buat untuk menulis pengalaman dalam pikiran saya yang terus memberontak untuk dituliskan. Saya harap teman-teman tidak bosan membacanya.
          Isi blog ini sendiri relative berisikan tentang apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Sebuah pengalaman yang saya coret dalam bentuk cerita. Saya memang tidak terlalu pandai berkarya lewat tulisan, bukan berarti saya diam saja untuk tidak berkarya. Saya akan mencoba sebisa saya untuk terus menulis, menulis, dan menulis.
Semoga apa yang saya tulis disini dapat dinikmati oleh para pembaca. Jika ada sesuatu yang bermanfaat anggap saja sebagai bonus karena sudah menyempatkan mampir disini. Saya harap teman-teman bisa meninggalkan sedikit coretan kritik dan saran yang bersifat membangun agar saya bisa memperbaiki tulisan saya agar lebih baik lagi. Terimakasih.

Tabik,

Penulis Amatir